Saturday, August 22, 2015

Masyarakat Adat Wehea dan Hutan Lindung yang Dijaganya

Muara Wahau. 
Baru pertama saya mendengar ada kecamatan bernama "Muara Wahau".
Di kecamatan inilah saya akan mendengarkan cerita Masyarakat Hukum Adat (MHA) Wehea. Cerita tentang sejarah mereka. Cerita tentang kegigihan mereka menjaga Hutan Lindung Wehea. Dan cerita tentang keinginan mereka menjadikan hutan-hutan yang tersisa di wilayah adat mereka yang ingin mereka jadikan Hutan Lindung milik Adat.

Rabu, 5 Agustus 2015
Perjalanan darat sekitar 5 jam harus saya (dan tim) tempuh dari Berau ke Muara Wahau. Walaupun Muara Wahau secara administrasi masuk ke Kabupaten Kutai Timur yang beribukota di Sangatta, tetapi akses perjalanan darat lebih dekat dari Kabupaten Berau. Dengan menggunakan Mobil Pajero Sport, kami berangkat dari Berau sekitar jam 17.30 WITA dan tiba di desa Nehas Leaq Bing, Muara Wahau hampir jam 22.00 WITA. Perjalanan malam yang cukup lancar dengan kondisi jalan yang lumayan baik.

Malam itu kami diterima di Balai Adat Wehea dengan penuh kehangatan oleh Pak Le Jitaq, Pak Lung Eng dan tokoh masyarakat adat Wehea lainnya. Mereka sudah menunggu kedatangan kami. Mereka gembira menyambut kehadiran kami. Kunjungan kami ke sana adalah untuk mempersiapkan acara ritual pengukuhan Hutan Lindung Wehea yang baru, luasnya ratusan ribu hektar. Lebih luas dari Hutan Lindung Wehea yang sudah ada dan dikukuhkan secara ritual adat belasan tahun lalu, yang hanya seluas tiga puluh ribu hektaran.

Setelah kami saling memperkenalkan diri, Pak Le Jitaq mulai bercerita. Kagum saya dengan apa yang diceritakan Pak Le Jitaq. Saya tak menyangka, masyarakat adat Wehea begitu peduli terhadap kelestarian hutan lindung dengan segala kekayaan flora dan faunanya, terutama Orang Utan.

Usaha mereka melestarikan Hutan Lindung Wehea, telah banyak mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Penghargaan dari dalam dan luar negeri telah mereka dapatkan. Kesuksesan Pak Le Jitaq melestarikan hutan lindung Wehea, bahkan telah membawanya sampai ke Kanada. Pak Le Jitaq menjadi pembicara di 6 Universitas di Kanada. Hebat.

Penghargaan dan apresiasi dari berbagai pihak ini lah yang mendorong mereka ingin memperluas Hutan Lindung Adat Wehea. Dan beberapa hari kedepan mereka akan mulai melakukan ritual adat pengukuhan Hutan Lindung Wehea perluasan.

Kami mendengarkan cerita dari Pak Le Jitaq. Ketua Masyarakat Hukum Adat Wehea.

Malam semakin larut, kami dipersilakan untuk istirahat. Karena kamar tidur untuk tamu di Balai dewan adat sudah penuh oleh Mahasiswa dari Jepang yang akan melakukan penelitian di Hutan Lindung Wehea. Kami menginap di rumah penduduk di desa Beanehas. 12 km jaraknya dari Balai Adat Wehea. Lumayan jauh. Hampir tengah malam kami baru sampai di desa Beanehas. 

Sesampainya kami di rumah yang akan kami inapi, kami disambut oleh Ketua Adat Wehea desa Beanehas dan belasan warga adat lainnya. Kamipun saling bercerita sampai lewat tengah malam. Ketua Adat desa Beanehas bercerita tentang kesepakatan masyarakat adat Wehea dari 6 desa untuk melestarikan Hutan yang tersisa di wilayah adat mereka. Hutan-hutan eks HTI dan HPH yang sudah habis dan yang akan habis masa konsesinya, ingin mereka jadikan Hutan Lindung perluasan. Keinginan yang mulia dan patut diapresiasi.

Cerita mereka yang cukup menarik itu sebenarnya masih banyak dan belum selesai, tapi malam semakin larut. Mereka pamit, kamipun dipersilakan istirahat.


Kamis, 6 Agustus 2015
Pagi yang cerah. Udara agak lembab dan panas.
Jam 08.00 WITA kami diantar ke lokasi yang akan dijadikan tempat ritual pengukuhan hutan lindung Wehea perluasan, di dekat basecamp PT. Narkata Rimba di KM 62. Ngak tanggung-tanggung, 3 mobil yang ikut ke lokasi. Saya satu mobil dengan Pak Le Jitaq dan pak Lung Eng. Perjalanan ke Km 62 ternyata jauh juga. Hampir 2 jam menembus kebun kepala sawit, baru kami sampai lokasi.

Sampai ke lokasi, Kami dijamu makan pagi di Basecamp PT. Narkata Rimba oleh Manajer lapangan di sana. Baik orangnya. Manajer itu pun bercerita ke saya, bahwa PT. Narkata Rimba adalah pemegang ijin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sudah menjalankan prinsip pengelolaan hutan lestari dan ada sertifikatnya. Masyarakat Adat Wehea pun mengakui kalau PT. Narkata Rimba melakukan pengelolaan hutan dengan baik. MHA Wehea dan PT. Narkata Rimba tidak terlibat konflik secara langsung.

Diskusi dengan pegawai PT. Narkata Rimba dan Masyarakat Adat Wehea.

Lokasi Ritual Pengukuhan Hutan Lindung Wehea perluasan
KM 76. salah satu lokasi ijin konsesi PT. Narkata Rimba
yang akan dikukuhkan sebagai perluasan Hutan Lindung Wehea

Setelah selesai sarapan pagi dan diskusi ringan di basecamp PT. Narkata Rimba. Kami meninjau lokasi yang akan dijadikan tempat ritual pengukuhan Hutan Lindung perluasan. Kami juga meninjau kondisi Hutan Lindung  perluasan sampai ke KM.76. Lokasi yang sebenarnya statusnya masih di bawah ijin konsesi PT. Narkata Rimba.

Seperti biasa, pada setiap spot saya sempatkan ambil titik koordinat menggunakan GPS dan ambil foto-foto dengan kamera. Secara umum kondisi calon Hutan Lindung perluasan yg merupakan lokasi ijin konsesi HPH PT. Narkata Rimba cukup terjaga dengan baik. Ini bukti bahwa PT. Narkata Rimba memang menglola hutannya sesuai prinsip pengelolaan hutan lestari.

Perjalanan dilanjutkan.
Kali ini, Pak Le Jitaq mengajak kami untuk meninjau lokasi Hutan Lindung Wehea yang sudah lama dikukuhkan secara ritual adat. Lokasinya cukup jauh dari Hutan Lindung perluasan. Lebih dua jam kami baru sampai ke sana. Untuk masuk ke Hutan Lindung Wehea, kami perlu lapor ke petugas di pos jaga. Mengisi buku tamu dan menulis maksud tujuan datang ke Hutan Lindung. Petugas jaga adalah pemuda-pemuda MHA Wehea yang bekerja sukarela.

Masuk ke dalam Hutan Lindung, kami melihat kondisi Hutan Lindung Wehea masih terjaga dengan baik. Hutannya masih lebat dengan pohon-pohon raksasa yang masih tumbuh kokoh. Sayang sore itu kami tidak melihat adanya orang utan. Mungkin orang utan nya masih tiduran di sarang. Atau mungkin orang utannya takut melihat kami.

Jauh di dalam Hutan Lindung, ada statsiun penelitian milik NGO dan guest house bantuan Pemda. Berdampingan. Di sini lah para peneliti orang utan dari dalam dan luar negeri tinggal dan menginap selama melakukan penelitian. Bisa berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan mereka tinggal dan menginap di sini.

Menurut cerita Pak Le Jitaq, bantuan dana dari NGO maupun Pemda lumayan banyak untuk membantu MHA Wehea mengelola Hutan Lindung Wehea. Walaupun belum memenuhi kebutuhan operasional semuanya. Tapi dibalik bantuan-bantuan itu, tidak jarang ada oknum NGO yang hanya menjual nama MHA Wehea demi keuntungan pribadi. Pak Le Jitaq pernah mengusir oknum NGO dari Kanada yang hanya ingin memanfaatkan MHA Wehea untuk kepentingan pribadi. Ya memang kalau perlu oknum-oknum NGO seperti itu diusir. Salut untuk Pak Le Jitaq.


Menuju Hutan Lindung Wehea. Melewati Sungai.

Membelah Kebun Sawit.

Tiba di Gerbang Hutan Lindung Wehea.

Monumen Ritual Pengukuhan Hutan Lindung Wehea.

Helipad. Dipersiapkan untuk Menhut. Tapi Menhutnya ngak jadi datang.
Waktu itu Menhutnya masih Pak M.S. Kaban.

Statsiun Penelitian Hutan Lindung Wehea. Fasilitas lumayan lengkap.


Pak Le Jitaq dan seluruh MHA Wehea berkeinginan Hutan Lindung yang mereka jaga dan kelola selama ini, statusnya dapat dijadikan Hutan Hak Adat. Perubahan status ini akan menjamin Hutan Lindung dapat dikelola dengan baik oleh MHA Wehea. Pak Le Jitaq khawatir, kalau hutan lindung ini masih dikuasasi Negara, kemungkinan alih fungsi hutan cukup terbuka. Terutama untuk HTI, HPH bahkan menjadi kebun sawit. Ya, saya hanya bisa merenung, kenapa kekhawatiran itu bisa muncul di benak Pak Le Jitaq.

Upacara ritual pengukuhan Hutan Lindung Wehea (perluasan) dengan mengundang Mentri LHK, adalah upaya-upaya Pak Le Jitaq dan seluruh MHA Wehea menginginkan eksistensi MHA Wehea dan Hutan Lindungnya diakui oleh Pemerintah Pusat. Memang tidak mudah untuk merubah status Hutan Lindung Negara menjadi Hutan Lindung Hak Adat, perlu adanya pengakuan MHA Wehea terlebih dulu dari Pemda Kabupaten Kutai Timur melalui Perda. UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan seperti itu. hal itu cukup disadari oleh Pak Le Jitaq dan MHA Wehea. Tapi mereka pesimis Pemkab. Kutai Timur dan DPRDnya mau menerbitkan Perda pengakuan MHA Wehea. Menurut Pak Le Jitaq, ada sentimen etnis di sana. Entahlah...

Saya hanya bisa katakan, apapun status hutan itu, yang penting fungsi hutannya tidak berubah. Masih sebagai Hutan Lindung. Sebagai pengatur tata air, sebagai penajaga kesuburan tanah, sebagai pengatur iklim mikro dan sebagai tempat flora dan fauna hidup dan berkembang biak. Dan untuk hutan lindung perluasan, MHA harus tetap menghormati hak pemegang ijin konsesi HPH atau HTI. Apalagi untuk pemegang ijin konsesi yang sudah mempunyai sertifikat pengelolaan hutan lestari. Kecuali pelaksanaan pengelolaan HPHnya di lapangannya keluar dari prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, baru MHA boleh bertindak.

Senja semakin gelap.
Kamipun meninggalkan Hutan Lindung Wehea. Kembali ke Sekretariat Dewan Adat Desa Nehas Leaq Bing. Malam itupun kami pamit kepada Pak Le Jitaq dan seluruh MHA Wehea. Terima kasih atas cerita yang sangat bermanfaat bagi kami. Saya yakin tujuan Pak Le Jitaq dan seluruh MHA Wehea menginginkan perubahan status Hutan Lindung Negara menjadi Hutan Lindung Hak Adat adalah murni untuk kepentingan lingkungan. Bukan untuk kepentingan keserakahan ekonomi.

Jangan berhenti untuk menceritakan apapun dan kepada siapapun tentang MHA Wehea dan keinginan menjaga Hutan Lindung, Pak Le Jitaq!!

Mungkin akan tiba saatnya nanti, cita-cita MHA Wehea menjadikan Hutan Lindung menjadi Hutan Adat tercapai. Semoga....

---TAMAT---

No comments:

Post a Comment